Saya belum lama mengenal Prof. Franz Moenks. Awal mula dari konferensi gifted atau ECHA (European Council of High Ability) yang saya hadiri di Dublin, Irlandia tahun 2018. Saat itu saya duduk dekat dengan salah seorang kontingen dari Belanda, Dr. Hans Van Elten. Ketika tahu saya dari Indonesia langsung menjadi sangat akrab. Dr. Van Elten adalah salah satu tokoh ECHA yang sudah menjadi anggota selama 30 tahun.
Waktu instirahat, Dr. Van Elten memperkenalkan saya dengan temannya, seseorang yang sangat senior, dengan tinggi badan jauh di bawah rata-rata orang Eropa, namun luar biasa ramah dan tertarik dengan Indonesia, Prof. Franz Moenks.
Dr. Moenks menanyakan apakah saya salah seorang dosen atau professor juga dari salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Beliau mengenal banyak sekali kalangan akademisi dari UI, UGM, Unpad, Atmajaya, Untar, yang tidak satupun saya kenal. Saya dengan malu-malu mengatakan bahwa saya bukanlah orang akademis; saya adalah parent dari gifted children yang sedang belajar; dan saya bukan lulusan universitas ternama di Indonesia; jadi tidak mengenal nama-nama besar yang disebutnya itu.
Prestasi dan posisi Dr. Moenks yang kalau saya tulis disini akan sangat panjang. Beliau adalah mantan Presiden ECHA untuk beberapa periode, profesor giftedness yang pertama di Eropa, kontribusinya yang luar biasa di dunia Gifted Education dan Psikologi Perkembangan telah memberinya banyak penghargaan prestisius. Khusus di Indonesia Prof. Moenks sangat terkenal karena textbooknya banyak di pakai di kampus-kampus besar. Dr. Moenks selama ini entah berapa kali mengunjungi Indonesia dan mementor banyak ilmuwan yang belajar tentang giftedness.
Seorang yang luarbiasa dengan hati yang sangat humble. Tidak menyangka bahwa setelah pertemuan itu kami masih berkorepondensi lewat email. Sampai tiba satu hari di awal January 2019, beliau mengemail saya dan berkata bahwa ia akan ke Jakarta untuk bertemu dua orang : Romo Magnis Suseno dan Nancy Dinar!
Tentu saja saya merasa sangat tersanjung disandingkan dengan Romo Magnis untuk ditemui Prof. Franz Moenks. Tapi begitulah cara beliau membuat seseorang yang kurang pede atau tidak berarti apa-apa merasa special. Satu lagi interpersonal skill yang harus saya pelajari jika pengaruh dan kemasyuran kita semakin tinggi: Humility.
Selama di Jakarta beliau menepati janji dengan mengunjungi Noble Academy. Tidak ada sama sekali kritikan atau koreksi dari apa yang kami jalankan. Padahal, sebagai seorang baru di bidang gifted education dan belajar otodidak saya masih banyak sekali kekurangan dan butuh bimbingan terutama dari seseorang sekaliber Franz Moenks. Saya ingin menimba ilmu dan mendapatkan wisdom sebanyak-banyaknya. Dalam usianya yang ke 86 saya membayangkan betapa kaya ilmu dan pengalamannya. Tapi beliau sedikit bicara tentang pengalamannya. Seakan-akan beliau ingin mengatakan; jangan kuatir, everything will be okay. At the end, tujuan kamu membangun semua ini yaitu agar anak-anakmu happy.
Setiap kali saya bertanya dan investigasi lebih lanjut, ujung-ujungnya beliau akan sampai pada kesimpulan itu. Penelitian dan dedikasinya selama lebih dari 40 tahun untuk dunia gifted education dan psikologi perkembangan; di penghujung hidupnya ia hanya punya satu ilmu sederhana yang diwariskan : Happiness.
Baginya, happiness akan membawa fulfillment dan sebaliknya.
Beberapa bulan kemudian setelah kunjungan ini, tepatnya pertengahan Agustus 2019 beliau mengabarkan saya lagi bahwa akan berkunjung ke Indonesia untuk menerima penghargaan dari Univeristas Suryapranata, Jogja. Dan tentu saja sekali lagi beliau akan mampir ke Jakarta untuk berkunjung ke sekolah saya.
Saya membalas emailnya untuk memastikan jadwal kedatangannya, tapi tidak tidak ada kabar selanjutnya. Saya minta asisten saya mengemail tapi tidak dibalas juga. Kami terus mencoba tapi hasilnya sama, tidak ada repons. Antara ragu dan percaya, apakah benar Dr. Moenks akan berjkunjung ke Indonesia 2x dalam setahun? Biasanya korepondensi lewat email lancar tapi mengapa kali ini tidak? Terputusnya koneksi selama kurang lebih sebulan membuat saya deg-degan.
Tiba-tiba beberapa hari sebelum arrival beliau mengabari bahwa akan bertemu saya setelah dari Jogja. Beliau menjelaskan kenapa komunikasi kami sempat terputus. Sebelum ke Indoensia beliau sedang berada di Rusia dimana koneksi internetnya sangat sulit. Bisa dimengerti.
Beberapa hari kami habiskan waktu hang out dengan Franz Moenks karena tidak ada event besar yang sempat dikerjakan. Beliau mengutarakan keinginannya untuk menterjemahkan satu bukunya lagi ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam hati, saya tahu bahwa meskipun semangatnya masih tinggi dan passionnya untuk education belum pudar, namun usia beliau sudah sangatlah sepuh. Sumpah, saya tidak mengharapkan beliau cepat meninggakan dunia ini tapi saya juga tahu manusia tidak akan hidup selamanya. Untuk itu saya ingin mengabadikan wasiat dan wejangannya, sehingga jadilah kami membuat video ini. Meskipun dalam interview ini suara saya dihilangkan (karena Bahasa Inggris yang belepotan, ups).
Dan setelah tiba waktunya untuk berpisah, saya mengantarnya untuk kembali ke Belanda. Di sepanjang perjalanan ke airport kami mengobrol, kali ini tentang banyak hal. Beliau kaget, karena banyak tokoh Gifted Education yang saya tahu, tentu saja semuanya lewat journal atau textbook mereka yang saya baca. Ia berjanji akan mempertemukan saya dengan tokoh-tokoh tersebut, antara lain Michael Piechowski, penulis buku “Living with Intensity” dan penerus pengajaran Kazimiers Dabrowski, psikolog idola saya. Kami pun menyusun beberapa rencana kedepan. Salah satuya beliau berjanji akan menemani untuk berkunjung ke beberapa institusi dan sekolah gifted di Belanda.
Selama perjalanan Prof. Moenks, sedikit terbatuk-batuk dan kelihatan sangat lelah. Tapi itinerarynya masih padat. Seminggu kemudian beliau akan menghadiri konferensi ECHA di Dubrovnik, Croatia. Ah, tempatnya sangat asing di telinga saya. Saya memohon maaf tidak bisa hadir kali ini. Lagipula di saat yang bersamaan saya punya agenda untuk berkunjung ke CTY (Center for Talented Youth) di John Hopkins University. Tapi saya berjanji suatu saat akan ke Belanda khususnya ke Radbout University tempatnya mengajar dan tinggal untuk membalas kunjungannya ke Noble Academy
Bulan Februari 2020, sekitar 2-3 minggu lalu saya mengabari beliau lewat email tentang rencana saya untuk akhirnya berkunjung ke Belanda di akhir bulan Maret ini. Saya mengingatkan tentang janjinya untuk mengantar ke beberapa sekolah dan institusi. Sekali lagi email saya tidak dibalas. Saya berpikir mungkin kasus yang sama dengan kejadian Rusia sebelumnya. (Akhirnya, rencana kunjungan ini juga harus ditunda karena merebaknya kasus COVID19).
Sampai hari ini ketika saya baca di FB bahwa Prof. Franz Moenks seseorang yang remarkable dalam dunia akademis dan humble dalam kesehariannya telah dipanggil Tuhan. Antara percaya tidak percaya, ternyata perjalanan ke airport itu adalah waktu terkahir saya dengan beliau. Betapa cepatnya ia pergi, terasa masih banyak yang belum sempat kami kerjakan.
Saya yakin, meskipun sudah tiada tapi semangat dan impiannya akan terus hidup di hati orang-orang yang mengenalnya.